Senin, 31 Maret 2014

Tugas #Softskill - Perekonomian Indonesia Saat Ini



Stacia Reynata
28213633
1EB09
Perekonomian Indonesia pada saat ini memiliki kasus yang hampir mirip dengan negara India, yaitu maraknya serangan spekulan serta defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan pada tahun 2013 telah mencapai angka 3,5%. Akan tetapi, jika keadaan ekonomi dan konsumsi/impor dapat ditekan untuk tahun 2014 maka defisit hanya akan mencapai angka 2,8%. Keadaan defisit neraca tersebut sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1997. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu berubahnya negara Indonesia menjadi negara net oil importir sejak tahun 2003 setelah dulunya Indonesia adalah negara net oil exportir. Alasan kedua adalah sebelum terjadinya krisis moneter, setiap kali terjadi defisit, negara Indonesia selalu di-supply dana oleh IGGI/CGI. Semenjak pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dan Indonesia digolongkan sebagai negara menengah, pinjaman CGI/IGGI sekarang lebih bersifat komersiil. Kini, dengan adanya kedua faktor tersebut, Indonesia semakin tertekan. Ditambah dengan hasil ekspor yang kurang mencukupi, cicilan imbal hasil yang tinggi, serta meningkatnya subsidi.
Kondisi defisit neraca perdagangan tersebut diperparah dengan berubahnya life style masyarakat Indonesia. Terlebih saat periode menurunnya tingkat suku bunga BI Rate di Indonesia, tingkat konsumsi semakin menjadi-jadi karena banyaknya masyarakat yang mengambil kredit untuk barang konsumsi. Padahal, sebagian besar barang konsumsi kita (misal alat-alat elektronik, makanan di restoran, pakaian, dsb.) adalah barang impor. Jika konsumsi Indonesia tidak ditekan, impor negara Indonesia tidak akan sanggup mengimbangi ekspor luar negeri dan pada akhirnya defisit neraca perdagangan akan semakin besar.
Sebenarnya Indonesia pernah mengalami masa kejayaan setelah mengalami keterpurukan akibat krisis moneter tahun 1997-1998. Jika Indonesia menengok ke arah 5 tahun ke belakang (2008-2012), dapat dikatakan bahwa lima tahun lalu adalah lima tahun penuh kelimpahan (5 years of plenty). PDB kita terus menguat dari 6,0% menjadi 6,5%, BI rate menurun dari 9,5% menjadi 5,75%, dan menguatnya Rupiah. Kondisi kejayaan tersebut disebabkan oleh booming-nya komoditas Indonesia (harga barang-barang komoditas naik sehingga hasil ekspor tinggi) serta inflow modal (banjir likuiditas akibat QE). Akan tetapi, dengan tidak adanya reformasi stuktural yang meliputi pembenahan infrastruktur, produktivitas, serta pasar tenaga kerja, menyebabkan kondisi kelimpahan tersebut kembali ke kondisi normal pada tahun 2013. PDB yang terus menurun menjadi +/- 5%, BI rate terus meningkat hingga mencapai angka 8%, serta imbal hasil SUN 10Y yang mencapai >8% semakin menambah beban negara. Lalu bagaimanakah kondisi masa depan ekonomi Indonesia jika kebijakan struktural/ reformasi pemerintahan yang baru tidak segera mengambil langkah preventif?Terlebih di tengah tekanan isu US tapering serta revolusi shale gas Amerika yang otomatis menurunkan harga komoditas dunia.
Menengok kondisi Indonesia saat ini yang dapat dikatakan menurun dibandingkan lima tahun lalu, serta kekhawatiran akan kondisi masa depan, maka perancangan sistematis pembangunan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Semenjak GBHN dihapuskan, negara Indonesia mengalami kebingungan arah pembangunan sebab saat ini Indonesia hanya bergantung pada RJP. Seharusnya Indonesia meniru negara China dan Korea yang telah membuat perencanaan negaranya hingga 20 tahun ke depan. Di negeri Korea, industri alat-alat berat awal mulanya dibangun sehingga sesuai prediksi, akhirnya industri elektronik bisa berkembang. Korea juga membuat perencanaan melalui sosial budaya, yaitu budaya K-POP yang telah menyerbu negara lain hingga Jepang. Pada akhirnya budaya K-POP ini berpengaruh kepada ritel Korea (Cloth Mark).
Kondisi keterpurukan Indonesia akibat tapering USA tersebut memang membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Tahun 2013 Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terburuk di Asia serta nomor 2 di dunia setelah Argentina dan Peso.
Langkah Kebijakan Ekonomi Indonesia Tahun 2014
Setelah sejenak kita melihat perbandingan pembangunan ekonomi Indonesia dengan negara lain, sekarang kita lihat langkah kebijakan apa saja yang telah diambil oleh Indonesia sebagai langkah preventif untuk mengurangi defisit neraca berjalan pada tahun 2014. Menurut Gubernur BI, bagaimanapun juga, ekspor Indonesia tidak akan dapat ditingkatkan karena hal tersebut di luar kendali Indonesia. Harga barang komoditas sangat terancam oleh prospektus revolusi shale gas di USA. Terlebih adanya larangan ekspor atas beberapa logam antara lain nikel dan bauksit, tentu saja membuat neraca perdagangan Indonesia semakin minus. Dari perhitungan didapatkan bahwa pelarangan ekspor atas nikel dan bauksit itu sendiri menyumbang defisit sebesar 0,2%.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang diambil oleh Gubernur BI adalah dengan menekan pola konsumsi masyarakat yang kebanyakan merupakan konsumsi barang-barang impor. Cara pertama adalah dengan menaikkan Pajak Penghasilan atas impor sebagaimana secara eksplisit telah terlihat pada PMK-175/PMK.011/2013, bahwa impor baik dengan API maupun tanpa API atas barang-barang tertentu (sebagian besar barang-barang konsumsi), tetap dikenakan tarif 7,5% (sebelumnya impor barang dengan API hanya dikenakan tarif 2,5%. Langkah kedua adalah dengan meningkatkan PPnBM atas impor barang-barang yang tergolong lux, misalnya gadget, smartphone, dsb. Langkah selanjutnya adalah dengan menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Saat ini rupiah telah berkisar di antara level Rp11.000 hingga Rp12.000, padahal sebelumnya hanya berkisar pada level Rp8.500,-. Diperkirakan rupiah akan terus ditekan hingga mencapai level Rp12.500 pada akhir semester kedua tahun 2014 ini dengan harapan pola konsumsi masyakat juga dapat ditekan. Kebijakan selanjutnya yang diluncurkan BI adalah penurunan jumlah kredit. Tahun lalu BI memberikan prediksi pertumbuhan kredit yang digelontorkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 25%. Akan tetapi pada tahun 2014 ini, BI menurunkan prediksi pertumbuhan kredit menjadi 15%.
Terkait dengan adanya ancaman tapering USA, yield SUN Indonesia tertekan hingga mencapai level 8% ke arah 9%, padahal sebelumnya sempat mencapai angka 10-12%. Hal tersebut sebagian besar juga disebabkan oleh berkurangnya inflow modal akibat semakin ketatnya Quantitative Easing.
Selain itu, kondisi cuaca yang tidak mendukung pada awal tahun 2014 ini tentu saja mempengaruhi kondisi perekonomian negara Indonesia. Diperkirakan akibat meluasnya banjir, barang-barang konsumsi akan semakin langka sehingga akan terjadi inflasi sebesar 8,4%. Akan tetapi akan inflasi tersebut akan turun ke base 5%-6% pada bulan Juni ketika cuaca mulai membaik.
Beberapa faktor utama yang memperburuk perekonomian Indonesia adalah belum jelasnya aturan mengenai daftar negara yang boleh dan tidak boleh berinvestasi di Indonesia sehingga membuat investor menjadi enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian kebijakan LTV (Loan To Value) yang lebih memperketat penyaluran kredit untuk otomotif serta rumah kedua dst. membuat pertumbuhan sektor properti dan otomotif sedikit melamban. Adanya kesenjangan UMR antara daerah dengan Jakarta membuat banyaknya tenaga kerja yang berpindah ke kota serta memicu relokasi pabrik-pabrik di daerah. Pada akhirnya, tenaga kerja yang tidak berpindah akan mengalami kehilangan pekerjaan sehingga ancaman kredit macet properti akan meningkat akibat meningkatnya pengangguran.
Akan tetapi, di tengah faktor penekan ekonomi Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada awal-awal tahun 2014, diharapkan diakhir tahun 2014 perekonomian Indonesia akan membaik. Setidaknya hal tersebut tertolong oleh diselenggarakannya Pemilu 2014. Pemilu bisa menjadi katalis positif bagi konsumsi dalam negeri, produktivitas industri, tenaga kerja, serta membawa harapan baru bagi investor untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia sehingga efek negatif tapering dapat dihindari.
Faktor-faktor positif lainnya yang juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah adanya sektor dollar earner misalnya konsumsi, transportasi, pariwisata. Selain itu daya beli masyarakat yang tinggi akibat meningkatnya UMR juga dapat menjadi stimulus untuk konsumsi dalam negeri. Kenaikan suku bunga pada level 8% akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Ditambah dengan adanya wacana subsidi BBM yang tetap sehingga risiko fiskal menjadi rendah, mampu menambah rating Indonesia di mata investor.
Akhirnya, dengan menganalisis kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah serta faktor-faktor positif dan negatifnya, analis ekonom Indonesia optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,2% dari realisasi pertumbuhan ekonomi tahun, yaitu menjadi 5,8% dari angka 5,6%. Salah satu penyebab utama peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2% tersebut adalah adanya katalis Pemilu 2014 yang menyebabkan terjadinya konsumsi besar-besaran.

Diambil dari :
http://m.kompasiana.com/post/read/631625/1/sekilas-ekonomi-indonesia-2014.html
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/perekonomian-ri-membaik-pada-2014-nilai-tukar-rupiah-diharapkan-terdongkrak